Ide
untuk bertandang ke Sangiran tidak datang begitu saja melesak kedalam otakku.
Semenjak sekolah menengah, aku sudah tahu tentang Sangiran dari buku pelajaran
sejarah. Pelajaran sejarah yang diajarkan ketika itu begitu menjemukan bagi
murid-murid sekolah menengah yang menganggap kemahiran bermatematika
dan berfisika sebagai lambang kejeniusan. Meskipun demikian, secara
antimainstream, aku menyukai pelajaran sejarah karena bagiku mempelajari
peradaban umat manusia dimasa lampau ibarat memasuki alam lain dengan nuansa
berbeda. “Suatu saat, aku akan ke Sangiran untuk membuktikan kebenaran dan
keindahan sejarah”, niat itu pernah terbersit didalam hati remajaku. Sebuah
niat yang kelak akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Hari
terus merangkak maju. Waktu melipat dengan sangat cepat. Perjalanan takdir
membawa diriku merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Sejak
pertama kali menginjakkan kaki dikota pelajar dan budaya ini, aku sudah jatuh cinta.
Benarlah kabar yang aku dengar dari para musafir, bahwa Yogyakarta sangat recommended untuk dijajah oleh para
pengejar ilmu dan pejalan berkantong cekak. Zaman telah merawat sebagian
Yogyakarta dan membiarkan keagungan budaya dan tradisi lama Jawa hidup
berdampingan dengan budaya urban kaum modern. Selain sarat akan sejarah dan
budaya, bentang geografi Yogyakarta yang beragam memberikan nilai lebih kenapa
daerah ini menjadi sangat dikenal diseantero nusantara bahkan dunia. Biaya
hidup yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain, menjadikan
Yogyakarta benar-benar surga yang sempurna untuk para pengelana.
Niat
yang pernah terbertik lima belas tahun silam sudah saatnya untuk diwujudkan menjadi
sebuah kenyataan. Sangiran tidaklah terlalu jauh dari Yogyakarta, setidaknya
masih satu pulau walau beda propinsi. Hari yang dinanti akhirnya tibalah jua.
Bersama rekan-rekan residen forensik, kami akan menghabiskan akhir pekan dengan
tujuan kampung halaman homo erectus yang
sangat terkenal di pentas sejarah itu.
***
Medio
April 2015. Pada suatu hari diakhir pekan yang cerah.
Bismillah.
Aku dan seorang teman residen forensik menumpang kereta api paling pagi dari
stasiun Yogyakarta menuju kota Solo, Jawa Tengah. Moda transportasi di pulau
Jawa lebih maju dan bervariasi dibandingkan dengan transportasi yang ada di
pulau asalku. Aku tidak mengatakan kalau dikampungku tidak ada kereta api. Akan
tetapi, di pulau Jawa, pembangunan jalur kereta api yang pada awalnya
diprakarsai oleh pemerintah Hindia Belanda itu tetap terjaga serta terus dikembangkan
sampai hari ini. Jalur kereta api saat ini sudah terhubung hampir kesetiap kota
di pulau Jawa yang padat penduduk.
Setelah
lebih kurang satu jam perjalanan menembus udara pagi, kereta api Sriwedari yang
kami naiki sampai distasiun Solo Balapan. Gesekan antara roda dengan rel kereta
terdengar berdecit saat kereta api mulai berhenti. Untuk kereta api lokal antara
Yogyakarta ke Solo maupun sebaliknya, tiket tersedia hampir setiap jam dengan
beragam pilihan kereta. Kereta api Sriwedari ini merupakan salah satu
diantaranya dan merupakan kereta yang cukup nyaman. Sepanjang perjalanan,
pemukiman dan persawahan silih berganti terbentang dibalik jendela kereta. Demi
melihat persawahan ditempa kuningnya berkas sinar mentari pagi dan rumpun padi
yang meliuk disapa angin, kenangan akan kampung halaman dikaki Bukit Barisan
sana terlempar begitu saja kepelupuk mata, menimbulkan riak kecil kerinduan. Ditambah
sayup-sayup ratapan lagu Minang yang mengisi liang telingaku membuat pagi itu terguncang
oleh kemelankolisan. Terkadang, menjadi sedikit hormonal itu memberikan
sentuhan berwarna dalam kehidupan ini.
Distasiun
sudah menanti seorang senior yang akan membawa kami ke tempat kejadian perkara.
Solo sendiri merupakan dapur bagi masakan Jawa yang enak-enak, setidaknya
begitulah pendapat teman-teman seresidensiku. Seniorku rumahnya memang di Solo,
jadi dia tahu setiap lekuk kota Solo yang menyimpan sejuta kelezatan kuliner
itu. Semilir angin kepagian membelai kota Solo, membuat hati mencelos dan perut
semakin keroncongan.
Susu murni hangat adalah asupan gizi pertama yang kami masukkan kedalam lambung
sebagai penawar lapar, diikuti kue-kue jajanan pasar yang bertabur gula. Perjalanan
dengan kereta api dipagi buta ternyata membawa kelaparan. Kami diajak kerumah
si senior sambil menunggu matahari sedikit tinggi.
Keluarga
seniorku akan ikut serta dan kami sepertinya akan menjadi bagian dari rombongan
piknik sebuah keluarga bahagia. Tak apa-apalah, ada manfaatnya juga, selain
bisa menghemat biaya perjalanan, kebersamaan akan menghilangkan kesan gila
(jika dilakukan sendirian) bagi traveler minat khusus seperti yang akan kami
lakukan pada hari itu. Berbicara tentang Sangiran, bahkan teman-teman seresidensiku
yang orang Jawa tulen, belum pernah sekalipun kaki mereka menginjak di tanah
pekuburan fosil itu.
Sangiran
kaya akan fosil manusia dan hewan purba disetiap jengkal dan lapis tanahnya.
Saat ini Sangiran menyandang prediket sebagai the homeland of the java man. Sangiran tidak hanya populer dalam
lembaran buku sejarah sekolah menengah. Buku dan jurnal ilmiah paleoantropologi,
bioantropologi, arkeologi dan lain sebagainya sangat akrab dengan Sangiran
karena merupakan lahan penelitian kehidupan masa lalu dan manusia purba
terlengkap didunia. Tiba-tiba
aku teringat pada sepotong informasi yang pernah aku baca. Pada
awal abad kedua puluh, Von Koeningswald,
seorang ahli antropologi memulai penelitian dan menemukan fosil hominid di Sangiran. Dia mengikuti jejak pendahulunya
Eugene Dubois, yang ternyata adalah seorang
lulusan sekolah kedokteran. Sebelum melakukan penelitian dan penggalian manusia
purba di Sangiran dan Trinil, Eugene
Dubois pernah melakukan hal serupa di kampung halamanku (Sumatra Barat) dengan hasil
nihil.
Setelah
puas berbasa-basi, kami serombongan langsung menuju warung sarapan. Warung sarapan
masakan Jawa yang dimasak oleh warga keturunan itu menyediakan semua jenis
masakan Jawa secara prasmanan. Warung itu katanya begitu terkenal. Dan ternyata
benar adanya. Pada saat kami datang
warung
kecil itu sedang centang
prenang oleh kebrutalan nafsu
umat
manusia. Ada ayam bakar, ikan goreng, telor, tempe dan sebagainya. Secara
visual, semua variasi masakan yang dihidangkan mampu merangsang kelenjer
parotis untuk memproduksi saliva secara berlebihan, namun dari segi rasa dan
aroma, tentunya kembali keselera masing-masing individu. Untuk masakan Jawa
yang terkenal dengan dominasi rasa manis, masakan Jawa versi Solo tidaklah
terlalu manis jika dibandingkan dengan masakan Jawa ala Jogja. Indra perasa dan
pembau saya yang sudah akrab dengan aneka citarasa masakan Jawa, tentunya akan
menerimanya sebagai masakan yang enak. Alhamdulillahirabbilalamin.
Sangiran
merupakan nama sebuah daerah di kabupaten Sragen, Jawa Tengah yang berada
sekitar 15 km diutara kota Solo. Perjalanan menuju Sangiran berjalan lancar. Kami
berkendara membelah dan kemudian bersisian dengan Bengawan Solo yang populer
itu. Matahari pada hari itu sangat bersahabat. Di situs Sangiran terdapat empat
buah museum paleoantropologi, yang paling besar adalah museum induk Sangiran.
Menuju museum, kita akan disajikan pemandangan bumi yang hijau. Barisan pohon
jati memagari kiri dan kanan jalan. Kondisi jalanan yang sempit, berliku
sekaligus sepi tersebut sempat membuat kami merasa waswas karena takut salah
jalur. Deretan rumah joglo tradisional Jawa yang sebagian masih berlantaikan
tanah turut mengapit jalan kecil dan mulus itu. Hal itu semakin
meyakinkan kami bahwa berkemungkinan mobil telah melenceng dari jalur menuju
museum. Namun, setelah melihat sebuah gerbang dan bangunan modern dari
kejauhan, kami menjadi lega. Senyum kemenangan menghiasi wajah seolah kami baru
usai berjuang menaklukan nafsu angkara murka.
Kami
tiba dimuseum manusia purba klaster Bukuran saat matahari hampir tegak lurus
dipetala langit. Siang itu matahari seolah mau memberitahu bahwa dia masih
matahari yang sama sejak lembah Sangiran masih dihuni oleh anthropoid, bahkan jauh sebelum itu. Cakrawala semakin biru dan
jernih ditempa sinar sang mentari. Paduan warna langit yang membiru dan
hijaunya pepohonan jati disekitar museum menjalin harmoni apik dengan keriangan
suasana hati. Karena ini adalah wisata minat khusus, maka hanya terlihat beberapa
orang pengunjung saja yang berseliweran disekitar museum. Analisis primordial
kami menyimpulkan bahwa hanya orang-orang yang gagal move on dari masa lalu saja yang akan berwisata ke museum, apalagi
ini adalah museum manusia purba.
Kami
tidak hanya terpukau dengan kemodernan tampilan arsitektur museum yang sangat
elok. Dengan cepat kami mengambil posisi masing-masing untuk diabadikan melalui
lensa kamera smartphone. Keinginan
untuk segera mengunggah foto keberbagai akun media sosial seperti instagram, path, facebook bahkan grup whatsapp seketika sirna karena sinyal sepertinya
enggan berkunjung ke ceruk Sangiran yang purba itu.
Didalam
khazanah ilmu-ilmu kedokteran forensik, terdapat salah satu cabang yang
mengkhususkan diri untuk individuasi dari tulang belulang. Cabang yang dimaksud
adalah antropologi forensik. Kalau ditinjau dari sudut pandang antropologi,
antropologi forensik merupakan dahan dari antropologi biologi atau antropologi
ragawi/fisik. Bradley J. Adams didalam bukunya yang berjudul Forensic Anthropology berpendapat bahwa antropologi forensik merupakan bagian dari
antropologi fisik yang mempelajari populasi manusia dari perspektif biologi dan
evolusi. Sedangkan antropologi fisik adalah subdisiplin dari antropologi yang
mempelajari umat manusia dari karakter fisik dan budaya. Antropologi forensik
menggunakan metode dan tujuan dari antropologi fisik untuk menjawab berbagai
pertanyaan medikolegal. Dalam melakukan fungsinya seorang antropologis sering
bekerjasama dengan seorang patologis, detektif dan odontologis forensik untuk mengidentifikasi
mayat, waktu kematian dan barang bukti lainnya. Paragraf ini sedikit bernuansa
ilmiah, tujuannya supaya pembaca yakin dan tidak merasa dikelabui oleh penulis.
Kedatangan
kami ke Sangiran sedikit banyak terinspirasi oleh mata kuliah antropologi
forensik yang akan kami jalani disemester genap ini. Tujuan antropologi
forensik yang lebih banyak untuk identifikasi individu memang tidak berkorelasi
linier dengan kunjungan ke museum klaster Bukuran. Akan tetapi pengalaman ini
bisa menjadi bahan pengayaan dari sebuah proses pembelajaran. Walaupun sebagian
museum-museum di Sangiran juga memamerkan koleksi tulang hewan, namun museum
manusia purba klaster Bukuran secara keseluruhan mengekspos tulang belulang
hominid berikut biologi manusia dari level molekuler, seluler sampai individu, bahkan
bioma. Setidaknya, kunjungan ke Sangiran menjadi sebuah kunjungan ilmiah pra
mata kuliah antropologi forensik alih-alih sebagai tamasya belaka.
Dinginnya
air conditioner menyerbu tubuh ketika
kami memasuki ruang pamer museum. Dilantai atas dipamerkan dengan sangat
menarik beberapa fosil hewan purba, peta teori migrasi dan tentunya landasan
semua pemikiran kepurbakalaan: teori evolusi seleksi alam dari Charles Darwin.
Juan Comas dalam bukunya Manual of
Physical Anthropology yang secara bebas diterjemahkan oleh penulis menukilkan
dengan sangat detail bagaimana sejarah perkembangan antropologi sebagai ilmu
yang sarat dengan beban pertanyaan tentang asal muasal manusia. Bahkan
pengetahuan tentang antropologi fisik manusia berawal dan terinspirasi dari
tulisan the voyage of Hanno, seorang
Kartago yang melakukan ekspedisi disepanjang pantai utara Afrika ribuan tahun
yang lalu. Dialah yang pertama kali menemukan gorilla dan menganggapnya sebagai
sesuatu yang sangat membingungkan, karena dapat berprilaku seperti manusia. Di
era selanjutnya, pemikiran tentang antropologi bergulir ke zaman Aristoteles,
dia berpendapat bahwa manusia adalah hewan yang komplit serta menganjurkan
studi komparatif antara manusia dan hewan. Setelah memasuki era yang dikenal
sebagai the century of anatomists,
antropologi fisik berkembang seiring sejalan dengan ilmu anatomi, namun
pertanyaan tentang dari mana kehidupan khususnya manusia berasal masih terus
dipertanyakan lalu diperdebatkan para ahli dari masa ke masa.
Mengamati
koleksi museum satu persatu memberikan ruang pada keheningan. Museum klaster
Bukuran benar-benar sepi pengunjung siang itu. Pengunjung yang datangpun
tenggelam dan hanyut dalam gejolak alam pikiran mereka masing-masing. Dimuseum,
masa lalu bertemu dengan masa kini. Dimuseum, waktu seolah berlari mundur dan
kita dilemparkan ke suatu noktah tak pasti di suatu kurun waktu yang terkadang
acak dan samar.
Telah
banyak pakar antropologi, zoologi dan anatomi menelorkan berbagai teori tentang
penciptaan sebagai jawaban terhadap konsep genesis. Kita sempat mempelajarinya
ketika belajar teori evolusi dalam mata pelajaran biologi dibangku sekolah
menengah dulu. Siapa yang masih ingat doktrin Lamarckisme, neo Lamarckisme, Darwinisme dan seleksi alam bahkan neo Darwinisme? Walaupun dizaman sekarang
telah ada para ahli yang mampu menggoyang teori evolusi Darwin, semisal Harun Yahya yang pada zaman aku kuliah videonya
gencar diputar dalam berbagai daurah aktifis FSKI. Akan tetapi konsep evolusi masih
tetap bertahan dalam kancah akademis dan tradisi ilmiah, khususnya pada
penelitian bidang paleoantropologi.
Sebagai
catatan, museum klaster Bukuran merupakan museum yang sangat ilmiah. Kami bisa
mengakses jurnal paleoantropologi berskala internasional, semisal keluaran Elsevier dikomputer yang tersedia
didalam museum. Dari sanalah kami tahu, bahwa beberapa dosen kami di Fakultas
Kedokteran UGM, berjasa dan berkonstribusi aktif dalam memajukan penelitian dan
landasan ilmiah manusia purba dari Sangiran. Sebagai museum modern,
museum-museum di Sangiran secara keseluruhan telah mengembangkan game ilmu pengetahuan terutama biologi
untuk kalangan umum. Jadi pengunjung bisa terlibat aktif berinteraksi dengan
ilmu pengetahuan selama berada didalam museum.
Tatkala
melihat manekin homo erectus yang
diperkirakan pernah hidup jutaan tahun yang lalu, pikiranku kembali menggugat
eksistensi manusia purba dari Sangiran itu. Apakah iya mereka benar-benar ada
dan apakah benar mereka merupakan cikal bakal manusia? Bagaimana mungkin kera
besar berjalan tegak itu menjadi nenek moyang kita? Pertanyaan yang sama mungkin
akan terus bergulir meretas zaman. Dimasa sekolah menengah dulu, murid-murid
menerima begitu saja pendapat sembrono bahwa fosil-fosil tersebut merupakan
bagian yang tersisa dari nenek moyang kita. Namun, disaat ilmu pengetahuan
telah berkhianat kepada zaman, akankah pendapat tersebut masih bisa ditolelir?
Kepercayaan
yang bersumber pada agama monoteistik khususnya agama Islam menjelaskan didalam
kitab suci Al-Quran, bahwa nenek moyang seluruh umat manusia modern adalah
Adam. Tiga agama samawi yang masih bertahan, mungkin akan berpendapat sama,
walaupun sampai saat ini fosil Adam dan Hawa tak kunjung ditemukan. Namun kitab
suci sudah menegaskan secara gamblang tentang keberadaan dan peran mereka
sebagai kakek nenek moyang spesies manusia. Al-Quranul Karim menyebutkan
didalam surah Al Hijr ayat 26 yang terjemahannya sebagai berikut:“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia
(Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. Yang
dipertegas lagi dengan surat Al-‘Alaq ayat 2 tentang proses penciptaan umat
manusia melalui firman-Nya yang berarti sebagai berikut:“Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. Nabi Adam
Alaihiwassalam dan istrinya Hawa merupakan manusia pertama, nenek moyang segala
bangsa didunia yang darah dan DNA nya masih kita warisi hingga hari ini. Kita
sebagai anak cucu Adam diberi kelebihan akal pikiran oleh Allah SWT sehingga
bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memimpin bumi ini.
Teknologi biologi molekuler analisis DNA telah membuktikan keberbedaan manusia
dari spesies anggota hominidae lainnya.
Berbicara
mengenai teori evolusi dan manusia purba ini tidak akan pernah habis-habisnya,
bahkan ketika aku sudah keluar dari museum. Namun sepanjang pengamatanku, dari
begitu banyak nama yang diberikan kepada berbagai jenis fosil tengkorak terduga
manusia purba, dapat disimpulkan bahwa secara general para ahli
paleoantropologi membagi hominid atas beberapa klasifikasi seperti pithecanthropus, neanderthal dan homo sapiens (kita). Homo sapiens sendiri dikelompokkan oleh para
ahli antropologi ke dalam beberapa ras. Dari buku teks, kita dapat mengetahui
bahwa pembagian ras manusia itu pun sangat beragam. Secara umum kita telah
mengenal adanya ras kaukasoid, mongoloid dan negroid. Di Indonesia sendiri kita
juga memiliki ras tambahan yakni austromelanosoid (orang-orang Papua).
Pikiranku
masih terpaut pada pajangan berbagai variasi fosil tengkorak dilantai dasar
museum. Pajangan fosil yang diperkirakan para ahli adalah refleksi diri kita
dari masa ke masa. Manekin semi robotik tersebut memperagakan kemungkinan fisik
dari berbagai fosil tengkorak. Teringat sewaktu kecil dulu, aku adalah seorang
penakut yang akan menjerit histeris ketika bertemu gambar tengkorak dan akan
segera pingsan jika tengkorak tersebut nyata dihadapanku. Nah, puluhan tahun sesudah itu, aku termasuk kedalam kategori
orang yang tumbuh sebagai pengagum setiap detail anatomi tubuh dan kerangka
manusia, sungguh manusia itu selalu berubah. Tapi apakah manusia benar-benar berevolusi?
Matahari
sudah sedikit tergelincir kearah barat ketika kami keluar dari museum klaster
Bukuran. Didalam museum aku merasa seperti berada dizaman pleistosen dan ketika
melewati pintu keluar museum aku kembali terlempar ke Sangiran abad 21 Masehi.
Siang itu terik, udara panas menguar keudara seolah letusan gunung api purba
Sangiran masih menyisakan panasnya. Katastrofi letusan diperkirakan mengubah
jalan sejarah Sangiran untuk selama-lamanya disamping fenomena geologi lain.
Zaman sekarang, tidak ada lagi pithecanthropus,
mammoth, badak, bahkan kuda nil di
Sangiran kecuali fosilnya. Pada hari ini adalah hal lumrah bagi masyarakat
Sangiran untuk mendapatkan fosil diladang pertanian atau dihalaman rumah
mereka. Bahkan masyarakat Sangiran mungkin sudah lihai mengidentifikasi fosil-fosil
tersebut. Aku jadi teringat bahwa disepanjang jalan terdapat banyak baliho yang
menampilkan fosil dan wujud makhluk hidup serta perkiraan tahun hidupnya di
Sangiran.
Kami
bertanya kepada petugas museum, kemana selanjutnya pengembaraan kami akan bisa
berlanjut. Petugas kemudian mengatakan ada tiga museum lagi ditempat terpisah
yang bisa kami kunjungi. Dikarenakan hari sudah beranjak siang, kami memutuskan
untuk mengunjungi museum induk Sangiran saja. Mobil kami kembali melaju diatas
jalan kecil dan mulus itu. Pandemi batu akik ternyata sampai ke pedalaman
Sangiran. Hampir disetiap halaman rumah kami menemukan penjualan dan pengasahan
batu akik. Dizaman neolitikum dahulu, nenek moyang katanya membuat peralatan
berburu dan memuja dari batu, akankah diera teknologi informasi ini, zaman tersebut berulang? Jika hal itu
terjadi, tidakkah kalian berpikir, bahwa
Sangiran tetaplah sama bahkan semenjak zaman nenek moyang, batu tak pernah
lepas dari gaya hidup mereka hingga saat ini.
***
Kami
memasuki gerbang berhias gading mammoth
di museum induk Sangiran. Patung the java
man berdiri tegak menyambut setiap tamu yang datang. Museum induk ini
terlihat lebih tua daripada museum klaster Bukuran. Dengan harga tiket masuk
yang sangat murah meriah, kami kembali berpetualang menelusuri zaman dan
menyeburkan diri kedalam pesonanya. Museum induk Sangiran lebih ramai
pengunjung daripada museum klaster Bukuran. Aku segera teringat bahwa museum
induk Sangiran inilah yang aku akses informasi keberadaannya pertama kali lewat
mesin pencari google.
Entah
kenapa aku selalu tertarik dengan museum. Hampir disetiap perjalanan ke tempat
yang baru, aku akan menyempatkan diri untuk mengunjungi salah satu atau
beberapa museum didaerah tersebut. Aku sangat suka museum yang benar-benar
memberikan kenyamanan dan menyediakan informasi berharga tentang tema yang
menjadi koleksinya. Museum induk Sangiran dan klaster Bukuran termasuk kedalam
kategori museum yang aku sukai. Selain memamerkan wujud manusia purba dan diorama
rekaan kehidupan prasejarah, museum induk Sangiran yang mempunyai empat ruang
pamer juga menyajikan video rekonstruksi wajah. Mirip dengan apa yang akan kami
pelajari dalam mata kuliah antropologi forensik, bedanya, rekonstruksi wajah
dimuseum tidak diperuntukkan untuk menerka wajah pelaku atau korban tindak
kriminal, namun untuk memberikan gambaran wajah hominid. Sekilas, rekaan wajah
hominid tersebut terlihat menakutkan dimataku, namun atas nama ilmu
pengetahuan, aku sangat menghargai usaha dan hasil kerja keras para ahli yang
sudah memperkaya pustaka ilmu pengetahuan dan kebudayaan umat manusia.
Museum
induk Sangiran memang lebih besar daripada museum klaster Bukuran. Didalam
ruang pamer kita juga bisa melihat visualisasi berbagai macam penggalian situs
yang dilakukan para ahli ilmu kepurbakalaan. Juga dipamerkan model penguburan
manusia setelah era manusia purba berlalu. Lagi-lagi, keangkeran bisa berganti
dengan rasa takjub. Ekshumasi adalah suatu proses penggalian kuburan. Didalam
ilmu kedokteran forensik pun juga dikenal istilah ekshumasi, yang bertujuan
untuk mendapatkan berbagai macam data dari si ahli kubur demi kepentingan
medikolegal. Ilmu tentang kuburan sendiri dikenal dengan nama tafonomi. Dan tafonomi
forensik merupakan ranting dari antropologi forensik. Lagi-lagi kita bisa
meraba beberapa kesamaan metodologi antara kedokteran forensik dengan paleoantropologi.
Dimuseum
induk Sangiran, sekilas kami membaca paparan tentang si Lucy yang terkenal itu, manusia purba sejenis australopithecus dari selatan berjenis kelamin wanita, yang menurut
cerita merupakan jenis yang diberkati dengan kepintaran. Bahkan katanya di Nusa
Tenggara Timur juga terdapat homo floresiensis
yang sangat problematis.
Jam
di smartphone-ku menunjukkan pukul
dua siang. Asam laktat sudah mencapai kadar maksimal menggerogoti perototan ekstremitas
inferior. Dilain regio, asam klorida pun sudah membanjiri gaster. Kehadiran asam-asam
yang diproduksi oleh tubuh ini harus segera dinetralisir. Lawatan ke museum
hari itu sudah saatnya untuk segera diakhiri. Tanpa basa-basi, mobil kami
berlari meninggalkan cekungan Sangiran menuju Solo. Selamat tinggal Sangiran, the homeland of the java man yang
permai. Selamat tinggal masa lalu. Kami akan mengukir masa sekarang dengan
sejarah kami, namun biarkan kami mengisi perut dan beristirahat terlebih dahulu.
Didalam
perjalanan pulang, dehidrasi membuat kami mesti singgah disuatu tempat untuk
membasahi kerongkongan yaitu di kedai es durian. Sungguh nikmat menyesap semangkok
es durian disiang menuju sore hari yang terik. Bahkan matahari masih belum mau
mengurangi kesangarannya. Seliter air es dan beribu kalori glukosa dengan segera
meniupkan kebugaran keraga kami. Sel-sel tubuh yang dahaga dan lapar kembali
menyambung hidup untuk melanjutkan sejarahnya masing-masing. Sebelum menaiki
kereta api pulang ke Yogyakarta, kami menikmati late lunch dengan menu seporsi selad Solo. Selad Solo merupakan
kesatuan daging tumbuk, kentang, buncis, wortel, selada dan bahan lainnya yang
disirami saos kaldu manis gurih. Sepiring selad Solo menutup cerita pendek
perjalanan ziarah kami ke pemakaman purba yang bernama Sangiran. Sungguh sebuah
penutup yang yummy.
Kereta
api Madiun Jaya mulai menggilas rel meninggalkan stasiun Solo Balapan tepat pada
pukul empat sore. Kereta api melaju ke arah barat daya. Ibarat memburu matahari April
yang masih sombong bertengger diatas langit Jawa. Sinar matahari rembang petang mulai menguning
ketika gerbong kereta berhenti di stasiun Yogyakarta. Kesibukan stasiun kereta
api Yogyakarta terpampang nyata tanpa mengenal waktu. Manusia masih memadati
stasiun antik dengan gaya bangunan kolonial tersebut. Ada yang menggelitik
ketika petugas mengumumkan keberangkatan maupun kedatangan kereta. Ya, mereka
menggunakan trilingual. Bahasa lainnya selain bahasa Indonesia dan Inggris adalah
bahasa Jawa.
Terima
kasih Allah SWT atas kesempatan berharga ini dan atas kuasa-Mu untuk tidak
mengirimkan jenazah ke kamar jenazah selama kami melakukan ekspedisi ke
Sangiran. Di sela-sela kesibukan dunia per-ppds-an kami yang tidak mengenal
waktu, Engkau telah mengizinkan kami menelusuri lorong waktu untuk lebih
mengenal kebesaran-Mu. Sesungguhnyalah kami hanya manusia lemah yang penuh
kekurangan dan selalu berharap akan ridho-Mu.Amin.
***
Kamar kost Karangjati,
Mei 2015